Halaman

Rabu, 07 April 2010

Islam Kaffah

ISLAM KAFFAH

Tulisan ini diilhami oleh kenyataan umat Islam (Indonesia) yang hingga kini masih terpuruk dan berkubang dalam kegagalan, kemiskinan, kebodohan, kekalahan dan keterpojokan—suatu kenyataan yang tentu saja sangat memprihatinkan dan sekaligus bertentangan dengan posisi dan atribut mulia yang disandangkan Tuhan kepada mereka. Di dalam Al-Quran umat Islam diberi atribut sebagai khairu ummah yang dilahirkan untuk manusia dengan posisi khalîfah fil ardh yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamîn. Dengan atribut ini umat Islam mestinya sudah menjadi pemimpin dunia dan pemegang kunci-kunci sukses sebagaimana yang pernah dialami oleh sang Rasul dan para sahabat; bukan seperti sekarang yang dalam kafilah global tertinggal jauh di belakang gerbong-gerbong Jepang, Barat, dan Eropa.

Semua fenomena “kegagalan” yang menimpa umat Islam sebenarnya berpangkal dari satu hal, yaitu ketidakutuhan pemahaman mereka mengenai Al-Islam sehingga tidak mampu mengamalkan undang-undang Tuhan tentang kesuksesan itu sendiri.

Apa Itu Islam?

Islam adalah agama samawi terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pedoman, petunjuk dan peta kehidupan bagi seluruh umat manusia agar mereka sukses, selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Secara keseluruhan Islam dapat dipahami sebagai perjalanan hidup Rasul sendiri sejak beliau berusia 40 tahun ketika diangkat sebagai Rasul hingga berusia 63 tahun ketika beliau wafat. Keseluruhan pribadi Rasul—mulai dari kerohanian, pemikiran, ucapan dan perbuatan beliau hingga pada akhlak dan ibadah beliau—itulah yang disebut Islam, dan semuanya terekam dalam dua kerangka pedoman mutlak yang dikenal dengan sebutan al-Quran dan al-Hadis.

Dengan demikian, memahami dan meneladani Rasul berarti sama dengan memahami dan mempraktekkan Islam, yang berarti pula sama dengan memahami al-Quran dan al-Hadis.

Tiga Pilar Islam

Dalam Tafsir Al-Mishbah-nya M. Quraish Shihab membagi kandungan Al-Islam (Al-Quran) menjadi 3 (tiga) unsur pokok: akidah, syari’ah, dan akhlak, atau—dalam istilah yang sering saya gunakan—kerohanian, fikih dan akhlak. Akidah atau kerohanian menyangkut hablumminallâh (hubungan manusia dengan Allah), sedangkan akhlak menyangkut hablumminannâs (hubungan manusia dengan manusia). Adapun fikih atau syari’ah (dalam pengertian sempit) merupakan perekat akidah dan akhlak yang tertuang dalam formulasi hukum, peraturan, dan tata cara lahiriah ibadah dan muamalah (termasuk khilafah, perang, dan lain sebagainya); fikih sekaligus berfungsi sebagai identitas bagi seorang Muslim/Mukmin. Gabungan ketiga unsur pokok inilah yang dimaksud dengan Islam Kaffah.

Namun begitu, tidak tertutup kemungkinan adanya pembagian kandungan ajaran Islam Kaffah menjadi lebih banyak lagi (dengan berbagai definisinya), tetapi semuanya tetap tercakup dalam ketiga unsur pokok tersebut.

1. Akidah

Akidah atau kerohanian adalah undang-undang Tuhan mengenai kesuksesan ukhrawi bagi orang-orang yang beriman, dan dalam batas-batas yang ideal—terutama apabila ditopang oleh akhlak karimah—dapat melahirkan kesuksesan duniawi. Akidah atau kerohanian (spiritualitas) yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan mengenal, mengalami dan meyakini Allah dan hal-hal yang ghaibi (metafisik) lainnya secara haqqul yaqin, dan kemampuan semacam ini hanya dapat diasah dan dicapai secara optimal melalui intensifikasi dzikrullah di jalan sufi yang disebut dengan istilah tharîqah, sebagai fundasi hablumminallâh (berhubungan dengan Allah). Dengan tharîqah seseorang dimungkinkan “mengalami hal-hal keilahian” secara hak, yang membuat hidupnya di dunia menjadi lebih bermakna, tidak sekadar berurusan dengan “sepiring nasi”. Dengan aspek kerohanian dan pengalaman keilahian ini pulalah mengapa sebuah “agama” dapat disebut agama. “Agama” yang tidak memungkinkan penganutnya mengalami hal-hal keilahian dan hal-hal ghaibi lainnya tidak lagi dapat disebut agama; ia sesungguhnya tidak lebih dari sekadar budaya. Dalam psikologi modern, kemampuan mengenal, mengalami dan meyakini Allah semacam ini dikenal dengan istilah kecerdasan spiritual (SQ). Sayangnya, teori SQ yang berkembang sekarang justru menafikan keterkaitannya dengan agama formal, apalagi dengan tharîqah, jalan yang ditempuh para sufi dan merupakan ruh setiap aktivitas.

Tujuan puncak tharîqah adalah menggapai ridha Tuhan di dunia dan akhirat. Tujuan ini tersimpul dalam doa yang selalu dibaca setiap kali seseorang mau mengamalkan dzikir atau wirid, yaitu ilâhî anta maqshûdî wa ridhâka mathlûbî (Tuhanku, hanya Engkau yang kutuju dan hanya ridha-Mu yang kucari); yang pada prinsipnya merupakan perwujudan dan pengamalan atas perintah Tuhan dalam al-Quran, “Qul inna shalâtî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lillâhi rabbil 'âlamîn (Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam).” (Al-An'âm, 6: 162)

Dengan demikian, tujuan tharîqah bukan kekeramatan, kekayaan, kesaktian, dan lain sebagainya. Bahwa kemudian seseorang yang sungguh-sungguh menapaki tharîqah ini tiba-tiba memiliki kelebihan, keistimewaan, atau kemampuan yang luar biasa (suatu kemampuan yang dalam wacana keislaman disebut dengan istilah mu’jizat untuk para nabi, atau karamah untuk para wali, atau ma'ûnah untuk orang-orang saleh), semua itu sebenarnya semata-mata merupakan rahmat dan karunia Tuhan bagi hamba-hamba yang dicintai dan diridhai-Nya, dan hampir setiap orang dalam tharîqah ini—sedikit atau banyak, jarang atau sering—pernah mengalami pertolongan-pertolongan Tuhan, yang sungguh-sungguh luar biasa terutama kalau dilihat dengan kacamata umum. Kisah Ab. Zebua, putra angkat YM. Ayahanda Guru, dan kisah seorang ikhwan yang diserang badai, misalnya, merupakan sebagian dari sekian banyak contoh pertolongan-pertolongan Tuhan yang diberikan kepada orang-orang tharîqah, sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan bahwa tharîqah sebenarnya juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi kesuksesan duniawi meskipun kesuksesan ini bukan menjadi tujuan tharîqah. Tujuan utama tharîqah, sekali lagi, adalah untuk meraih ridha Allah.

Pada level ideal, ketika syarat dan rukun sudah terpenuhi, tharîqah juga dapat berfungsi sebagai sarana perbaikan akhlak, aspek lain dari ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari konsep dzikir lathâif yang dikenal dalam tharîqah. Dzikir lathaif ini berfungsi antara lain untuk membongkar akhlak buruk yang bersarang di berbagai titik dalam diri manusia. Pengamalan dan penghayatan yang mendalam dan sungguh-sungguh terhadap dzikir lathaif ini akan membuahkan akhlak karimah yang signifikan. Oleh karena itu, dzikir lathaif ini jangan diamalkan “sambil lalu” sehingga tampak tidak lebih dari sekadar kebiasaan, melainkan harus disertai niat dan penghayatan yang sungguh-sungguh untuk membongkar akhlak yang tercela sesuai dengan titik-titik terkait. Dan secara keseluruhan, jika dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya, tharîqah juga sekaligus melahirkan ketaatan menjalankan fikih sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang merupakan asas dalam tharîqah.

2. Akhlak

Akhlak pada hakikatnya merupakan undang-undang Tuhan mengenai kesuksesan dunia. Akhlak memainkan peran yang sangat penting dalam Islam, sedemikian penting sehingga menjadi salah satu dari dua misi Rasul yang paling pokok. Misi pertama berkenaan dengan akidah, tauhid atau kerohanian (tasawuf/tarekat), yang menyangkut hubungan manusia Muslim dengan Allah (hablumminallâh), sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam beberapa firman-Nya, antara lain: : “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka menyembah Tuhan yang Mahaesa; tidak ada Tuhan kecuali Dia.” (At-Taubah, 9: 31), “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam setiap umat seorang rasul (yang memerintahkan:) Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut;” (An-Nahl, 16: 36). Misi kedua adalah menyempurnakan akhlak (hablumminannâs) sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri ketika bersabda, “Sesungguhnya aku diutus tiada lain hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Secara esensial akhlak merupakan fundasi hablumminannâs (berhubungan dengan sesama manusia). Hal itu dapat dipahami dari sebuah sabda Rasul yang mengisyaratkan bahwa bekal utama yang diperlukan dalam berhubungan dengan manusia adalah akhlak, yaitu ketika beliau menegaskan, “Kalian tidak dapat memperlakukan orang dengan kekayaan kalian, tetapi kalian harus memperlakukan mereka dengan akhlak kalian.” Namun begitu, sebagaimana halnya tharîqah yang berfungsi sebagai fundasi hablumminallâh tetapi juga terkait erat dengan perbaikan akhlak dan sekaligus memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan duniawi, akhlak pun (sebagai fundasi hablumminannâs juga terkait dengan—dan memberikan pengaruh terhadap—efektifitas hablumminallâh. Dalil-dalil al-Quran dan al-Hadis tentang hal ini banyak sekali. Tentang akhlak buruk sombong, misalnya, al-Quran menegaskan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-bangngakan diri (An-Nisâ', 4: 36). Di tempat yang lain Allah berfirman: “Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, dan kamu kekal di dalamnya; itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong.” (Al-Mu'min, 40: 76; Luqmân, 31: 18). Nabi pun menegaskan: “Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun sebesar biji dzarrah (atom).” Dalam hadis yang lain beliau bersabda: “Segeralah kalian berakhlak baik, karena orang yang berakhlak baik pasti masuk sorga; dan berhati-hatilah, jangan sampai kalian berakhlak buruk, karena orang yang berakhlak buruk pasti masuk neraka.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak sesungguhnya merupakan bentuk lain dari hablumminallâh yang manifestasi dan perwujudannya terkait dengan aktivitas-aktivitas dan hubungan antarsesama manusia. Pelanggaran akhlak mengakibatkan seseorang terhalang memasuki sorga-Nya. Lebih dari itu, bagaimana mungkin seseorang dapat berdzikir dengan tenang apabila ia dimusuhi banyak orang karena akhlaknya tidak terpuji? Bagaimana mungkin seseorang dapat meraih ridha Tuhan dengan dzikir dan wirid jika ia tetap mempertahankan kesombongannya sementara Allah telah menegaskan dalam al-Quran: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan suka membanggakan diri.” (Luqmân, 31: 18)?

Akhlak yang dimaksudkan di sini tentu saja bukan hanya akhlak dalam pengertian sifat-sifat “lemah-lembut, sopan, atau ramah”, melainkan juga—yang tidak kalah pentingnya—adalah akhlak dalam pengertian “kemampuan memahami diri sendiri dan memahami perasaan orang lain”, suatu kemampuan yang melahirkan kejujuran (amanah), kepercayaan, kepemimpinan, kerja keras, kreativitas, visi dan aktualisasi diri, tanggung jawab, kebijaksanaan, kedermawanan, kepedulian (terhadap sesama dan lingkungan), kebersihan, dan lain sebagainya. Dalam istilah psikologi modern, akhlak dalam pengertian ini disebut dengan kecerdasan emosional (EQ). Dengan akhlak inilah orang-orang Jepang, Barat dan Eropa mencapai semua kesuksesan mereka. Meskipun tidak memiliki keimanan yang benar, mereka ternyata telah menjalankan undang-undang Tuhan mengenai kesuksesan di dunia sehingga mereka benar-benar sukses. Mereka dalam hal ini bahkan “jauh lebih Islami” dibandingkan dengan umat Islam sendiri. Para pengusaha dan para manajer eksekutif Barat—yaitu mereka yang dikenal dengan sebutan the Corporate Mystics (Sufi-Sufi Perusahaan Raksasa)—rata-rata memiliki dan mempraktekkan secara sungguh-sungguh “akhlak aktif” atau nilai-nilai luhur semacam ini.

Di kalangan umat Islam, “akhlak aktif” atau undang-undang Tuhan mengenai kesuksesan dunia justru luput dari perhatian mereka. Tentang kebersihan saja, misalnya, kita dapat melihat dengan mudah bahwa masjid-masjid Timur (Islam) biasanya jauh lebih kotor dibandingkan dengan gereja-gereja Barat (Kristen). Kurikulum pendidikan Islam (demikian juga kurikulum pendidikan nasional kita) hampir tidak pernah menyentuh materi dan/atau menyajikan analisis yang memadai mengenai kandungan ajaran Islam yang satu ini.

3. Fikih

Fikih berkenaan dengan hukum-hukum formal tentang ritualitas ibadah dan muamalah, dan biasanya dikaitkan dengan hukum-hukum wajib, sunnat, mubah, makruh dan haram. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fikih pada dasarnya merupakan rambu-rambu dan prosedur tetap (protap) bagi orang-orang Muslim; bahkan juga merupakan identitas yang membedakan mereka dari orang-orang non-Muslim, di samping merupakan perekat atau pembungkus akhlak dan akidah. Ajaran tentang akidah (hablumminallâh) dan akhlak (hablumminannâs) berlangsung pada periode Mekah, yaitu 13 tahun pertama kenabian sang Rasul, dan masih terus berlangsung hingga beliau wafat; dua unsur ajaran Islam ini mengambil porsi paling besar dari semua ajaran Islam. Dalam periode Mekah ini belum tercetus ajaran Islam yang menyangkut fikih. Esensi fikih (pada masa Rasul belum ada istilah fikih) baru muncul pada periode Madinah, yaitu 10 tahun terakhir sebelum beliau wafat.

Fikih berfungsi sebagai penunjuk identitas Muslim dalam mengimplementasikan akidah dan akhlak; dan mengambil porsi yang sangat sedikit (kira-kira 3%) dari keseluruhan ajaran Islam, karena selebihnya (97%) menjadi porsi akidah dan akhlak. Masing-masing dari akidah, akhlak dan fikih ini muncul secara bertahap, tidak sekaligus. Baru menjelang Rasul wafat, seluruh ajaran Islam (akidah, akhlak, dan fikih) menjadi sempurna. Kesempurnaan ajaran Islam itu ditegaskan sendiri oleh Allah ketika Dia berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kusempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Al-Mâidah, 5: 3).

Di atas sudah dijelaskan bahwa akhlak sesungguhnya juga merupakan bentuk lain dari hablumminallâh yang manifestasi dan perwujudannya terkait dengan aktivitas-aktivitas dan hubungan antarsesama manusia. Demikian juga fikih. Dalam wacana Islam Kaffah fikih sesungguhnya juga merupakan bentuk lain dari hablumminallâh yang manifestasinya terkait dengan ritualitas ibadah dan muamalah atau hukum-hukum yang lima. Dengan begitu, akidah, akhlak dan fikih—ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang padu, satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam kaitan ini, saya menggambarkan Islam Kaffah seperti telur; fikih adalah kulit telur, akhlak adalah putih telur, dan akidah atau kerohanian adalah kuning telur. Ketiga-tiganya harus ada supaya dapat disebut sebagai telur. Akidah, akhlak dan fikih harus diakui, dihayati dan diwujudkan bersama-sama sekaligus agar dapat disebut sebagai Islam atau Islam kaffah.

Sayangnya, sebagian besar dari umat Islam lebih banyak terkungkung dalam paradigma fikih semata. Dalam pandangan mereka fikih seolah-olah sama dengan “Islam” itu sendiri, padahal fikih tidak lebih dari sekadar hasil pemahaman (ijtihad) tentang nash-nash (al-Quran dan al-Hadis), yang dalam banyak hal—terutama jika tidak disikapi secara bijaksana—cenderung gersang dan kaku, bahkan sangat potensial memicu perpecahan, dan pada gilirannya melahirkan kehidupan tidak berakhlak yang notabene kehidupan yang gagal.

Paradigma fikih yang tidak dipahami dengan pendekatan moral dan spiritual (akhlak dan thariqat) memang tidak diragukan merupakan sebab kegagalan dan kekalahan umat Islam. Sebaliknya, paradigma moral an sich seperti dipegangi Jepang, Barat, dan Eropa—karena tidak dibarengi dengan keimanan yang benar dan pendekatan spiritual yang memadai—telah menjadikan semua kesuksesan yang dicapai mereka tidak lebih daripada fatamorgana belaka; bahkan tidak jarang kehidupan orang-orang sukses di antara mereka berakhir secara mengenaskan (bunuh diri dengan berbagai cara).

Paradigma spiritual (tharîqah) pun, jika tidak dilengkapi dengan paradigma fikih dan moral, akan melahirkan ketimpangan, ketidakharmonisan dan bahkan juga kesesatan di samping kegagalan. Tidak diragukan, dalam kondisi ideal, spiritualitas (tharîqah)—meskipun pada dasarnya merupakan undang-undang Tuhan mengenai kesuksesan ukhrawi—memang sekaligus berfungsi sebagai mata air kesuksesan dunia. Artinya, pengamalan spiritualitas (tharîqah) yang optimal akan melahirkan moralitas yang signifikan untuk meraih sukses, dan sekaligus memotivasi ketaatan menjalankan fikih sebagai perwujudan ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Namun begitu, kenyataan menunjukkan bahwa di antara pengamal tharîqah banyak yang belum optimal mengamalkan dzikrullah, bahkan tidak jarang yang cenderung lepas kontrol dengan mengeluarkan kaji-kaji aneh yang menyimpang dari jalan Islam, di samping cenderung menganggap tharîqah sebagai representasi total ajaran Islam, sedemikian rupa sehingga aspek fikih dan akhlak terabaikan: sikap-sikap amanah (jujur), kreatif, bertanggung jawab, dan bersilaturrahim dalam suasana ukhuwah yang mesra antarsesama belum melembaga, dan sebaliknya, sikap-sikap iri, dengki, bergunjing, masih merebak; bahkan pengamalan ibadah-ibadah formal (seperti salat wajib lima waktu, salat Tahajjud, Dhuha, dan lain sebagainya) belum maksimal bagi sebagian pengamal tharîqah. Semua itu adalah sebagian kecil contoh yang membuktikan kenyataan ini. Oleh karena itu, dukungan sistem pembinaan akhlak dan pencerahan fikih melalui berbagai program (taushiyah, pengembangan wawasan, ceramah keagamaan, penataran dan pelatihan, dll.), menjadi sangat signifikan dan tidak perlu dianggap menyimpang dari nilai-nilai tharîqah yang keabsahannya tidak diragukan sama sekali.

Apa pun, jika orang Islam ingin hidup sukses, mulia dan terhormat sebagai individu atau ingin meraih kembali posisi mereka sebagai khairu ummah dan khalîfah fil ardh yang mampu menebarkan rahmat ke seluruh alam (rahmatan lil ‘âlamîn), dan sekaligus meraih kesuksesan ukhrawi, maka satu hal yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah reinterpretasi Islam dengan meninggalkan pemahaman keislaman yang sepotong-sepotong (fikih an sich, atau akhlak an sich, atau kerohanian an sich), menuju pemahaman dan pengamalan Islam kaffah (akidah, akhlak, dan fikih sekaligus) sebagai manifestasi ketaatan menjalankan perintah Tuhan, “Masuklah kalian semua ke dalam Islam secara kaffah (udkhulû fis silmi kâffah).” (Al-Baqarah, 2: 208)

Jika setiap individu di lingkungan umat Islam berlapang dada untuk menyadari pentingnya reinterpretasi Islam menuju pemahaman dan pengamalan Islam kaffah, niscaya kemenangan umat Islam tidak akan lama lagi, baik secara nasional maupun secara global, karena pengamalan Islam kaffah sebagaimana yang diamalkan Rasul dan para sahabat benar-benar adalah kunci sukses dunia dan akhirat, dan Allah SWT sendiri telah berjanji dengan firman-Nya, “Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sudah dekat.” (Al-Baqarah, 2: 214).

***

Sebagai penutup tulisan ini, perlu direnungkan bagaimana Rasul dan para sahabat mampu mengalahkan dua imperium raksasa (Romawi dan Persia) yang menjepit wilayah mereka. Mereka tentu orang-orang yang sangat tahkik kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga tentu orang-orang yang berakhlak (jujur, kreatif, berani, beretos kerja tinggi, bertanggung jawab, saling menghargai dan menyayangi satu sama lain dengan memperkuat silaturrahim, dll.), dan mereka pun ternyata tetap konsisten menjalankan ibadah-ibadah formal (seperti salat dan puasa) bahkan dalam keadaan perang sekali pun; sebab orang yang meninggalkan salat dengan sengaja—sebagaimana ditegaskan Rasul dalam sebuah hadis—berarti ia telah kafir terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad.

Dalam kaitan ini pula, kita juga perlu merenung: “Mungkinkah orang-orang thariqat yang rajin wirid dan rajin suluk (atau siapa pun) akan dipercaya/dimuliakan orang—atau mungkinkah mereka akan meraih kesuksesan duniawi—kalau mereka tetap sombong, keji, zhalim, pembohong, pendendam, penggunjing, malas dan kotor?” Jangankan kesuksesan duniawi, kesuksesan ukhrawi pun tampaknya masih perlu dipertanyakan. Sebab, Allah telah menetapkan melalui lisan Nabi-Nya bahwa orang yang dalam hatinya ada kesombongan, meskipun sebesar biji dzarrah (biji atom), tidak akan masuk sorga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar