Halaman

Rabu, 07 April 2010

Mempedomani Islam

MEMPEDOMANI ISLAMJul 4, '06 7:04 AM
for everyone

Oleh H. Don*


M

anusia diciptakan dengan posisi sebagai khalîfah Tuhan di muka bumi; artinya sebagai “wakil” atau “kepanjangan tangan” Tuhan untuk mengurus dan mengelola bumi. Tugas sebagai khalîfah sedemikian kompleks, dan manusia dihadapkan pada berbagai pilihan: di bidang apa dan bagaimana ia memfungsikan dirinya sebagai khalîfah. Banyak jalan yang tersedia untuk ditempuh, dan setiap saat manusia harus mengambil keputusan “jalan mana yang harus ia pilih dari sekian banyak jalan itu”, sehingga banyak persoalan yang muncul, dan banyak pula pertanyaan yang harus dijawab: Ke mana ia harus pergi? Untuk apa ia berada di sini? Apa yang harus ia lakukan: kuliah, kawin, atau menjadi kaya? Naik haji atau membuat usaha lebih dahulu? Bila suami kawin lagi, rela dimadu atau lebih baik meminta cerai? Bila didera sakit yang tidak sembuh-sembuh, apa yang harus ia lakukan?

Di sini manusia memerlukan peta, peta kehidupan yang memberinya petunjuk ke arah mana ia harus melangkah, apa yang harus ia perbuat, dan bagaimana ia harus berbuat. Kadang-kadang manusia kebingungan, tidak mengetahui jawaban yang benar-benar tepat untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak sekali di antara manusia—bahkan juga kita—mencari peta kehidupan itu dari sinetron-sinetron, dari film-film India, dari teman-teman, dan bahkan juga dari dukun-dukun. Mereka tidak sadar (atau tidak mau sadar) bahwa Tuhan telah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, termasuk peta penunjuk jalan kehidupan. Tuhan tidak menciptakan manusia kemudian meninggalkan mereka begitu saja, tetapi telah menyediakan segalanya untuk manusia.

Peta kehidupan yang disediakan Tuhan tiada lain adalah apa yang disebut dengan agama (Islam). Sebagai peta kehidupan, agama hadir lengkap dengan “buku pedoman” yang disebut Al-Quran, yang berfungsi sebagai hudan linnâs (petunjuk bagi manusia), pembeda antara hak dan batil. Tidak hanya itu. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sang Rasul yang membawa agama itu sendiri, bahkan berfungsi antara lain sebagai teladan konkret dalam mempraktekkan pedoman itu, sehingga dalam Al-Quran beliau disebut dengan istilah uswatun hasanah (panutan yang indah) dan dipuji oleh Tuhan dengan puncak pujian: “Sungguh Engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).

Semua itu adalah peta kehidupan untuk manusia. Semua itu adalah “kado” Tuhan untuk kita. Sebuah kado yang harus kita buka dan kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya apabila kita ingin tidak tersesat dalam menapaki jalan-jalan kehidupan yang penuh dengan misteri ini.

* Apa Itu Islam?

Tidak jarang di antara kita masih bertanya-tanya atau tidak mengetahui secara pasti “apa sebenarnya Islam itu”. Islam adalah Al-Quran itu sendiri. Islam adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam itu sendiri. Semua yang melekat pada diri Rasul dan yang dilakukan oleh Rasul adalah Islam. Tidak ada yang lain. Mempelajari Al-Quran berarti mempelajari Islam, dan meneladani Rasul berarti mempraktekkan Islam.

Islam tidak hanya menyangkut soal salat, puasa, haji, wudhu, najis, dan lain sebagainya. Orang yang salat, misalnya, tidak dapat dikatakan serta-merta telah mempraktekkan Islam. Hanya dengan salat, seseorang tidak serta-merta telah menjadi Mukmin atau Muslim (dalam arti yang sebenarnya). Dalam Al-Quran disebutkan bahwa di antara orang-orang yang salat bahkan ada yang diancam dengan neraka (Wail), yaitu mereka yang hati (rohani)-nya tidak khusyuk. Mereka bahkan juga disebut sebagai pendusta agama apabila mereka berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim dan tidak mau memberi makan kepada orang miskin.

Jadi, Islam mencakup banyak aspek, bersifat multidimensional, dan tidak hanya mengurusi soal-soal ibadah (lahiriah) semata. Aspek-aspek yang tercakup dalam Islam secara rignkas dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) wilayah: fikih, kerohanian, dan akhlak. Fikih (hukum-hukum dan tata cara ibadah lahiriah) bahkan menempati wilayah yang sangat sempit dalam Islam. Dalam Al-Quran pun hanya ada sekitar 200 ayat yang berhubungan dengan fikih; jadi, kira-kira 3 % saja dari keseluruhan yang termaktub dalam Al-Quran (demikian pula dalam Al-Hadis). Selebihnya berkenaan dengan persoalan akhlak dan kerohanian. Tiga wilayah ini—fikih, kerohanian, dan akhlak—dapat dipahami dengan lebih jelas dalam gambar berikut:

Fikih, kerohanian dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bukan seorang Muslim (yang sebenarnya) jika hanya mengambil satu saja dari ketiga wilayah Islam tersebut. Tuhan memerintahkan kita agar masuk Islam secara kâffah, secara total, secara keseluruhan; bukan sebagian seperti yang dilakukan atau dialami oleh sebagian besar umat Islam sekarang.

Umat Islam pada umumnya hanya mengambil wilayah fikih semata, dan mengabaikan—atau tidak begitu memperhatikan—dua wilayah yang lain (kerohanian dan akhlak). Betapa banyak orang Islam yang rajin salat, atau yang berkali-kali naik haji, atau yang gemar berpuasa sunnat, tetapi sifat-sifat atau akhlak mereka buruk: sombong, dengki, kejam, suka berbohong, korup, pendendam atau tidak mau memaafkan, dan lain sebagainya; padahal akhlak (yang baik) menempati wilayah yang sangat besar dalam Islam, sedemikian besar sehingga Nabi pun bersabda, “Segeralah kalian berakhlak baik, karena orang yang berakhlak baik pasti masuk sorga; dan berhati-hatilah, jangan sampai kalian berakhlak buruk, karena orang yang berakhlak buruk pasti masuk neraka.” Hal ini tiada lain—sebagaimana ditegaskan juga oleh Rasul—karena “akhlak yang baik dapat meleburkan dosa-dosa sebagaimana matahari meleburkan salju.” Sebaliknya, akhlak yang buruk akan menggiring pemiliknya ke neraka, karena Allah—masih kata Rasul—tidak mengizinkanorang-orang yang berakhlak buruk untuk bertobat. Setiap kali orang yang berakhlak buruk bertobat dari suatu dosa, ia akan terlibat lagi dengan dosa yang lebih besar.

Betapa banyak sabda-sabda Rasul yang menegaskan keutamaan akhlak. Sebutlah lagi misalnya: “Orang-orang yang menahan amarah dan orang-orang yang pemaaf; Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (Âli ‘Imrân [3]: 134). Berbuat baik artinya memiliki akhlak yang baik, dan Allah mencintai orang-orang yang berakhlak baik. Lebih dari itu, sebuah sabda Rasul menegaskan, “Orang yang memiliki sifat (akhlak) yang baik akan mendapatkan pahala orang-orang yang berpuasa di siang hari dan bertahajjud di malam hari.” Beliau juga bersabda, “Kesalehan dan akhlak yang baik dapat membangun negeri dan memperpanjang usia.”

Dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia (hablumminannâs) pun, bekal pertama dan utama yang diperlukan tiada lain adalah juga akhlak, bukan yang lain. Kekayaan—misalnya—tidak akan banyak berarti jika tidak didukung dengan akhlak yang terpuji. Oleh karena itu, jauh-jauh sebelumnya Rasul Islam memperingatkan kita semua melalui sabdanya, “Kalian tidak dapat memperlakukan orang dengan kekayaan kalian; karena itu, kalian harus memperlakukan mereka dengan akhlak kalian.”

* Tharîqah Dalam Islam

Lalu, bagaimana dengan tharîqah (Ind. = tarekat)? Di mana posisi tharîqah dalam Islam? Apakah tharîqah berada di luar Islam?

Tharîqah adalah “metode pelaksanaan teknis” tasawuf yang menempati wilayah kerohanian sebagai perwujudan dari konsep ihsân (beribadah seolah-olah melihat Tuhan). Dengan begitu, tharîqah berada dalam Islam, bukan—dan sekali-kali bukan—di luar Islam. Dalam piagam-piagam Surau, dalam Doa Penutup Tawajjuh, di mana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadi panutan dan merupakan pangkal silsilah tharîqah , semuanya mengisyaratkan bahwa tharîqah memang berada dalam Islam. Oleh karena itu, orang-orang tharîqah harus melaksanakan semua unsur yang berada dalam wilayah Islam; mereka harus menjalankan fikih dan memiliki akhlak karimah (yang baik dan terpuji). Tanpa fikih dan akhlak, tharîqah adalah sesat, menyimpang dari jalan Islam yang lurus, dan—karena itu—tidak ada gunanya.

Jika orang-orang tharîqah mengabaikan fikih dan akhlak, maka mereka menjadi “santapan empuk” setan yang memang senantiasa siap menerkam; mereka akan menjadi kelompok manusia-masnusia yang sesat dan … betul-betul sesat! Karena sebab ini pulalah mengapa beberapa puluh tahun yang lalu di Saudi Arabia terjadi pemberantasan terhadap kelompok-kelompok tharîqah yang dimotori oleh kaum Wahabi. Kasus-kasus seperti ini bahkan sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Semua itu, sekali lagi, tiada lain karena mereka tidak memiliki akhlak dan sering mengabaikan fikih. Berbahagiakah kita kalau mengalami hal semacam itu? Relakah kita apabila dalam kelompok tharîqah ini terdapat manusia-manusia sesat dan menyesatkan semacam itu?

Peran BKK Dalam Tharîqah Ayahanda Guru (Dahulu dan Sekarang)

Fenomena kesesatan orang-orang tharîqah yang tidak berakhlak dan mengabaikan fikih sudah barang pasti juga mengganggu kita sebagai kelompok tharîqah. Oleh karena itu, sejak dahulu hingga sekarang, Badan Koordinasi Kesurauan (BKK)—di samping tugas-tugas yang sudah baku dari Ayahanda Guru—sekaligus berperan dan bertujuan untuk:

1. mengawal tharîqah agar tetap “lurus”, tidak menyimpang dari ajaran Islam yang menjadi pangkalnya.

2. mengurus dan menjaga orang-orang tharîqah (khususnya di lingkungan Surau-Surau Yayasan) agar dapat berdzikir dengan tenang dan benar.

3. menyebarkanluaskan tasawuf (aspek kerohanian) sebagai bagian penting dari ajaran Islam yang sangat penting untuk diamalkan.

4. mengawal nama baik tharîqah (di mata masyarakat) yang cenderung lepas kontrol seperti merebaknya kaji-kaji aneh dan sesat yang tidak diragukan pasti merusak nama tharîqah (tasawuf) itu sendiri.

* Renungan Malam Menjelang Tidur

Sekarang, marilah kita semua merenungkan beberapa hal yang menjadi fenomena umum di hadapan kita:

1. Manusia (umat Islam) adalah khalifah Tuhan di muka bumi, dan Islam adalah agama yang unggul (al-islâm ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih “Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya”) yang diturunkan Tuhan sebagai rahmatan lil ‘âlamîn “rahmat bagi semesta alam”.

§ Mengapa umat Islam kalah?

§ Mengapa Indonesia gonjang-ganjing, sengsara, dan mengemis ke negara lain yang kaya? Mengapa?!

§ Mengapa janji Islam tidak terwujud?

2. Tuhan memerintahkan agar kita masuk Islam secara kaffah.

  • Benar-benar sudahkah kita masuk Islam? Benar-benar sudahkah kita menjadi Muslim?
  • Berapa orang di Medan ini, atau di antara kita sendiri, yang menyentuh Al-Quran? Berapa orang yang memahami artinya? Berapa orang yang mengamalkannya?

3. Islam meliputi fikih, kerohanian, dan akhlak.

  • Mengapa salat, puasa, haji ditegakkan sekaligus bersama-sama dengan korupsi, bergunjing, berzina, dan lain sebagainya?
  • Mengapa masjid-masjid ramai dikunjungi orang-orang tetapi permusuhan dan kekerasan antarjamaah masih tetap merebak?

4. Tharîqah (tasawuf) mengajarkan teknik berdzikir efektif dan pola hidup kerohanian yang indah.

  • Mengapa orang-orang tharîqah banyak yang tidak berakhlak?
  • Mengapa orang-orang tharîqah senang bergunjing, egois, sombong, tidak toleran, dan pendendam?
  • Mengapa orang-orang tharîqah malas menjalankan salat lima waktu, tidak mau ber-Tahajjud, dan tidak pula ber-Dhuha? Mengapa?

5. Tuhan menegaskan, “Barangsiapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim. Dan barangsiapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah [5]: 44-47).

  • Mengapa pola hidup kita berkiblat pada “hukum-hukum” sinetron, film-film India, doktrin Katholik, dan lain sebagainya?
  • Mengapa seorang suami memilih “jajan” di luar padahal di rumah ada istri yang setia, bersih dan suci?
  • Dan mengapa seorang istri harus bersikap brutal atau minta cerai apabila suami hanya mau menjalankan agamanya, misalnya, dengan menikah lagi? Tidak adakah jalan yang lebih indah dan lebih sejuk daripada bersikap brutal dan minta cerai?

* Lakukan Sekarang Juga!

Sekali lagi, marilah kita semua merenungkan hal-hal tersebut agar di hari esok kita menjadi hamba Allah yang lebih baik daripada hari ini. Untuk itu, lakukanlah hal-hal berikut sekarang juga:

1. Pedomanilah Islam. Masuklah ke dalam Islam secara kaffah, secara keseluruhan, dan carilah petunjuk dalam Islam untuk seluruh aspek kehidupan kita.

2. Bertanyalah kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan bersahabatlah dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallâhu ‘anhu; bertanyalah kepada mereka bagaimana cara terbaik mengahadapi masalah.

3. Laksanakan fikih, tasawuf (kerohanian) dan akhlak sekaligus, dan jangan ditawar-tawar lagi; karena tanpa akhlak seseorang dijerumuskan ke neraka, tanpa tasawuf seseorang dijerumuskan ke neraka, dan tanpa fikih seseorang dijerumuskan ke neraka.

4. Jadikanlah Al-Quran dan Al-Hadis sebagai Imam kita, dan jangan sekali-kali menjadikan sinetron, film India, atau Katholik sebagai Imam.

5. Pedomanilah Islam, niscaya kita selamat di dunia dan akhirat; itulah janji Allah kepada kita!

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar